loading...
loading...

Pernah disalahsatu grup WA yang saya ikuti, seseorang begitu sangat membenci Seword, setelah saya tanya alasannya, jawabannya sudah bisa ditebak, katanya seword adalah media hoax, dan belum lagi dia menambahkan dengan kalimat “piaraan istana”. Pernyataan-pertanyaan seperti bukan jawaban yang dewasa, tapi sebuah tuduhan yang tak bisa dibuktikan, dan ini sudah bisa dipastikan bahwa pernyataan seperti itu adalah penularan sakit hati.
Lalu kalimat “Piaraan Istana” ini mungkin saja terinspirasi dari seringnya nonton film-film yang berbau birahi di zaman kerajaan-kerajaan yang memelihara banyak selir. Atau bisa juga terinspirasi dari para pendamba 72 bidadari yang bahenol lalu terlibat terorisme. Mmhh… tragis.
Lalu, dia dengan bangganya mengatakan bahwa ia kenal baik dengan pembesar Tirto, kemudian memuji-mujinya bahwa petinggi Tirto itu sangat paham dengan Kode etik Jurnalistik. Lalu saya hanya memberikan gambaran sederhana, bahwa banyak koruptor yang paham dan mengerti dengan baik bahwa mencuri uang negara itu tidak baik dan itu akan dihukum berat, tapi nyatanya, para koruptor itu tetap saja korupsi.
Maka apa bedanya dengan mereka yang katanya paham kode etik jurnalistik, tapi toh beberapa tulisan yang disajikan di- web-nya sangat tidak etis alias menuduh Seword sebagai media hoax namun tidak ada data yang ditunjukkan, padahal ia paham kalau seword itu media blog yang terdiri dari banyak penulis opini sama halnya dengan Kompasiana, lalu bagaimana bisa dibilang hoax?. Maka dikemanakan kode etiknya itu?
Atau saya berikan gambaran lain, misalnya seorang dokter yang mengerti kode etik kedokteran, tapi tetap saja ada dokter yang pernah melakukan pelanggaran. Jadi sebenarnya gambaran ini jelas. Seseorang yang paham suatu aturan, belum tentu otomatis menjadi orang yang taat pada aturan itu. Ini tergantung dari niat dan kepentingan masing-masing.
Mungkin menurut saya, yang menuduh seword itu media hoax adalah karena kalah viewers, atau kalah banyak pembaca, padahal seword dikelola dengan sederhana, tanpa runut jabatan-jabatan spektakuler yang menghiasi kartu nama atau dengan tatanan grafis yang profesional di setiap laporan khususnya. Kesederhanaan seword malah menjadi kekuatan yang bisa merangkul banyak pembaca, dan pembaca semakin tercerahkan, karena Seword jelas visi dan misinya, bukan untuk menyalurkan kedunguan dengan topeng intelek.
Mungkin bisa juga sama seperti persaingan Ustad-ustad dalam memperebutkan jemaah yang banyak. Para Ustad itu paham agama, namun karena niat masing-masing berbeda, tentu saja apa yang dilakukan bisa melenceng dari substansi keberagamaan. Maka seorang jurnalis bisa saja melenceng dari kode etik yang telah digariskan karena suatu kepentingan. Namun saya masih yakin, masih banyak teman-teman jurnalis yang benar-benar menjalankan dengan baik profesinya sebagai jurnalis dengan berlandaskan kode etik itu.
Kemudian, ternyata politisi juga bisa lebih parah dari pelanggaran kode etik, dan ini sudah kita saksikan dimana-mana, dan puncaknya adalah menjelang pilpres yang sebentar lagi atau beberapa pilkada yang telah dilakukan. Meskipun saya belum menemukan kode etik yang tertulis bagi politisi sama seperti kode etik kedokteran ataupun jurnalistik, setidaknya, politik adalah ilmu yang menguras tenaga pikiran dan strategi tetapi tidak kehilangan akal sehat dan falasi berpikir, politik sangat dibutuhkan karena banyak pengaruhnya pada bidang lain, Politik melibatkan intelejensi yang sangat ketat dan hati-hati. Karena itulah, seorang politisi sejati jiwanya dan otaknya sangat dewasa, selalu melihat persoalan dengan sudut pandang yang berbeda namun tepat menyelesaikan masalah.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Sandi, wakil gubernur Jakarta sangat kekanak-kanakan. Lantaran koleganya dan teman-temannya banyak yang tidak menginginkan Jokowi jadi presiden lagi, sedangkan banyak masyarakat puas dengan kinerja Jokowi, jadi hanya segelintir orang saja yang tidak menyukai Jokowi, yahh.. dari pernyataan Sandi itu, bisa ditebak ia sama dengan segelintir orang itu yang telah membuat website ganti presiden namun belum lunas pembayaran administrasinya, hehehehe,
Sungguh Sandi mengeluarkan pernyataan yang tidak etis. Seperti yang dikatakan oleh Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri bahwa itu “Tidak etis pernyataan Wagub DKI Sandiaga Uno dikaitkan dengan Presiden Pak Jokowi dan mantan PM Malaysia. Disayangkan pernyataan itu. Kami cukup terkejut, seorang Wakil Gubernur yang jadi wakil pemerintah pusat di daerah membuat pernyataan oposisi," Baca beritanya
Apalagi, menurut Sandi Indonesia ini sama dengan Malaysia, waduh, belum kelar instalasi pengelolaan “air tinja” kok bisa mengeluarkan pernyataan yang sulit melihat perbedaan. Indonesia dan Malaysia jauh berbeda, dari segi sistem pemerintahan saja berbeda, meskipun ada kesamaan sebagian besar warganya dengan Indonesia dalam hal warna kulit, sama-sama Melayu. Tapi, tetap saja berbeda dalam banyak hal, apalagi antara Jokowi dengan Najib Razak, ini sangat jauh berbeda.
Maka pernyataan Sandi ini selain kekanak-kanakan dan tidak etis, juga mengandun unsur provokatif, model-model kayak begini sudah sering kita saksikan dimainkan oleh kader-kader “Partai Koalisi Syetan”.
Apakah ini bisa dikenakan pasal?, atau karena Sandi masih kanak-kanak sehingga tidak berlaku hukum baginya, karena hukum diperuntukkan bagi orang yang akil baliq dan orang waras. Bukan begitu?
Alangkah bijaknya jika politisi yang ingin menantang Jokowi, menampilkan prestasi yang menjulang tinggi, sehingga elektabilitasnya menjulang ke langit dan Tuhan pun kagum, bukan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak jelas dan loncat-loncat kayak kutu loncat, karena politik itu tidak hanya memerlukan polesan pelembab bibir, atau mesin pengelola taik, tapi ia butuh polesan prestasi yang cerdas, antara kata dan perbuatan sinkron, strategi jitu tapi tidak keluar dari rel etika.
loading...
0 Response to "Sandi Terdeteksi Belum Dewasa Berpolitik, Maklum Masih Menggunakan Cara-cara Partai Koalisi Syetan"
Posting Komentar