loading...

TGB DUKUNG JOKOWI. BAGAIMANA ULAMA YANG LAIN???

loading...
loading...

Saya kira bisa jadi membingungkan soal penyebutan istilah "ulama muda", karena secara tidak langsung ada kategori lainnya, yaitu "ulama tua". Hal ini akan mengaburkan makna keulamaan sendiri yang pada akhirnya muncul dikotomi: ulama muda versus ulama tua. Kriteria ulama sepertinya menjadi klaim ditengah gemuruh kepolitikan jelang Pilpres 2019.

Keberadaan kandidat yang bakal menjadi capres, sama-sama mencari dukungan politik terkait kelompok-kelompok keagamaan---termasuk ulama. Baru-baru ini, kelompok yang menamakan dirinya "Solidaritas Ulama Muda Jokowi" (Samawi), berkumpul di Sentul, Bogor, mendeklarasikan dukungannya kepada capres Jokowi dua periode.


Disisi lain, deklarasi ulama bahkan sudah jauh-jauh hari menyatakan dukungannya kepada kandidat lain, diluar Jokowi, meskipun siapa kandidatnya hingga saat ini tampak masih belum jelas. Para ulama yang tergabung dalam kelompok GNPF dan 212, masih menggodok beberapa kriteria capres yang akan diusung menunggu hasil ijtima' ulama yang baru akan digelar Juli ini. Tidak menutup kemungkinan, ada akan nama-nama kandidat yang dicoret karena telah terbukti mengalihkan dukungannya untuk Jokowi dua periode. Kita lihat saja, siapa kandidat yang akan diusung para ulama ini yang akan menjadi pesaing petahana.


Suhu politik jelang Pilpres serasa hangat-hangat kuku, karena isu keagamaan seringkali dimanfaatkan untuk segala hal dalam rangka merebut kekuasaan. Menariknya, seorang ulama muda TGB Zainul Majdi, yang sebelumnya digadang-gadang menjadi rival Jokowi di Pilpres malah mendukung dua periode kepemimpinan Jokowi. Pencoretan nama TGB dari kandidat yang diusung para ulama, lantas dihubung-hubungkan dengan perspektif keagamaannya bahkan banyak para ulama lain yang mempertanyakan realitas keagamaannya. Lho, mendukung kandidat lain secara politik, kok dikaitkan dengan keberagamaan seseorang? Bukankah politik itu rasional dan terukur?


Namun, saya tidak tahu apakah TGB termasuk ulama tua atau ulama muda, namun yang jelas ia masih muda karena baru berumur 46 tahun. Namun demikian, umur yang relatif muda tidak menjadikan seseorang tak dipilih menjadi pemimpin. Hal ini telah dibuktikan TGB, selain terpilih menjadi gubernur, ia juga mendapat gelar "Tuan Guru Bajang" (TGB) yang berarti "ulama mumpuni dalam bidang agama yang diakui", terlepas dari kriteria umurnya. Gelar TGB dengan demikian melekat, karena keluasan ilmu agamanya yang jelas diakui oleh ulama-ulama senir lainnya. Dalam keulamaan, rasa-rasanya tak dipersepsikan melalui umur, namun melalui penguasaannya yang luas dan baik atas seluruh ajaran-ajaran Islam.


Sejauh ini, tak ada perspektif baru yang menyebut kategorisasi ulama dengan muda atau tua, bahkan gelar keulamaan sekalipun tak pernah memandang umur. Jika memang ada klaim ulama muda yang mendukung Jokowi dua periode, lalu bagaimana dengan para ulama tua? Akankah mereka membuat kelompok tersendiri sebagai para ulama tua yang tak mau kalah mendukung Jokowi? Atau sebaliknya, mendukung kandidat lain diluar Jokowi? Politik nampaknya semakin rumit, bahkan lebih rumit dari permainan rubik, padahal hanya memadukan kesamaan warna.


Klaim keagamaan dalam gelanggang politik telah menambah rumit keadaan. Tak hanya berurusan dengan soal dukungan atau penolakan terhadap pribadi seorang kandidat, soal istilah saja tak jarang menuai kontroversi keagamaan. Perhatikan saja, keberadaan istilah "Islam Nusantara" justru semakin memicu konflik antarsesama agama yang semakin membingungkan umat. Melalui klaim kebenaran yang mereka persepsikan, seolah-olah kontras dengan realitas politik: kubu pendukung dan penolak salah satu kandidat capres. Politik ternyata telah memporak-porandakan bangunan solidaritas keumatan, bahkan tak jarang muncul persepsi kebencian antara kedua belah pihak.


Saya kira, perlu peran "ulama tua" yang dapat meredam gejolak umat yang semakin terkubur dalam-dalam rasionalitas politiknya. Ulama tua, tentu saja bukan mereka dituakan karena umur atau senioritas, tetapi dituakan karena keluasan ilmu agama dan akhlak-nya. Mereka yang dianggap ulama tua, sudah seharusnya steril dari berbagai kepentingan apapun---termasuk politik---sehingga mampu menengahi konflik umat secara netral.


Walaupun saya meyakini, justru mereka yang masuk kategori "ulama tua" rasa-rasanya akan lebih banyak diam, tak mau terlibat jauh dalam urusan politik yang remeh dan profan. Ulama tua cenderung lebih banyak membaca kitab, menuliskannya untuk kemanfaatan umat, memberi contoh yang baik kepada masyarakat, bukan ikut-ikutan menjadi salah satu pendukung atau penolak seorang kandidat.


Memikul gelar keulamaan itu sungguh berat, karena seorang ulama dalam perspektif agama adalah mereka hanya merasa takut kepada Tuhannya, setelah mereka melampaui pembacaan atas segala realitas alam semesta, termasuk tingkah pongah manusia di dalamnya. Jadi sebenarnya, jika ada klaim ulama muda atau mungkin ulama tua, itu hanyalah sebatas kepentingan politik yang profan, tak ada kaitan apapun dengan perspektif keagamaan.


Para ulama sejatinya merupakan pewaris para nabi dan Nabi Muhammad tidak diutus kecuali hanya menjadi "rahmat" bagi sekalian alam. Ulama sebagai pewaris para nabi, tentu saja menebarkan kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada seluruh mahluk Tuhan di seantero jagad raya.


Ulama tidak pernah menunjukkan apalagi tertanam rasa kebencian sedikitpun, karena yang ada dalam hatinya hanyalah bagaimana menebarkan rasa kasih sayang. Ulama bukan mereka yang dibenci oleh kelompok kafir dan munafik, tetapi mereka yang disegani karena keluasan ilmu pengetahuan dan keluhuran budi pekertinya.


Satu hal, mereka mendapat gelar keulamaan langsung dari Allah yang bahkan mereka sendiri tak pernah pantas dirinya menjadi ulama, karena rasa takutnya yang sedemikian besar kepada Allah. Ulama adalah yang berkasih sayang dengan sesamanya, tak pernah menunjukkan klaim kebenaran atas apapun, kecuali kebenaran sejati yang ditunjukkan oleh Tuhannya, bebas dari kepentingan duniawi apapun.


Saya kira, dengan petunjuk akal sehat yang dimiliki setiap orang, kita mampu membedakan mana yang termasuk kriteria ulama dan mana yang bukan. Kita tentu paham, kenapa ada kelompok yang mengklaim sebagai ulama muda yang mendukung salah satu kandidat tertentu. Disisi lain, ada klaim ulama lain yang juga mendukung salah satu kandidat tertentu.


Inilah realitas politik, yang seringkali menggambarkan kerumitannya tersendiri, terlebih jika terus menerus membawa "klaim agama" dalam urusan-urusan politik. Agama yang semestinya sakral, kini kehilangan jati dirinya, lebur dalam hiruk pikuk kepolitikan yang nikmat dan profan. Namun, semua adalah pilihan anda, mau jadi rasional atau tradisional dalam berpolitik, karena keduanya sah dalam meraih kekuasaan


loading...

0 Response to "TGB DUKUNG JOKOWI. BAGAIMANA ULAMA YANG LAIN??? "

Posting Komentar