loading...
loading...

Karier Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada Kabinet Persatuan Nasional, memang sangat singkat. Sesingkat berjalannya kabinet ini yang hanya mencapai kurang lebih sekitar 2 tahun (1999-2001).
Hanya saja, dalam waktu yang sesingkat itu, Mahfud MD, telah menghasilkan suatu karya yang cukup fenomenal. Karya itu adalah dengan diundangkannya Undang-Undang (UU) No 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Salah satu hal yang menonjol pada Undang-Undang ini adalah pada pasal 23, ayat 1 yang menyatakan, dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan. Dan ayat 2 yang menyatakan, dalam menjalankan tugas, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan.
Yang dimaksud dengan mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan termasuk kegiatan mendorong dan memajukan industri dalam negeri yang memproduksi alat peralatan yang mendukung pertahanan, baik melalui kegiatan promosi maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disebabkan oleh hal ini maka pemerintah Indonesia perlu untuk menetapkan model pembangunan industri yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pertahanan dan keamanan di dalam negeri, serta memiliki “kolam pengetahuan” (knowledge pool) yang berpijak dan berorientasi pada kemampuan industri dalam negeri.
Dengan kata lain, kemandirian industri pertahanan dalam negeri hanya mungkin tercapai jika suatu negara dapat memobilisasi sumber daya nasional yang dimilikinya, dari mulai bahan mentah bernilai tinggi hingga tenaga kerja yang terdidik, untuk dapat membangun riset dan pengembangan teknologi pertahanan nasional.
Pemerintah sendiri sangat menyadari bahwa peningkatan kemampuan dan penguasaan akan teknologi industri pertahanan nasional harus dilakukan melalui aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D) serta perekayasaan teknologi. Aktivitas R&D ini juga menjadi syarat mutlak untuk dapat menuju kemandirian pertahanan serta kemampuan untuk merespons perkembangan teknologi pertahanan dan keamanan.
Minimum Essential Force (MEF)
Kemampuan dan kekuatan pertahanan negara Indonesia pada beberapa dekade terakhir semakin menurun. Hal ini mengakibatkan posisi tawar Indonesia di kawasan regional dan global semakin melemah.
Indonesia memiliki luas laut dalam negeri atau inland seas dengan luas 93.000 km persegi. Dengan termasuk didalamnya adalah teluk, selat dan laut ditambah lagi dengan area laut luar termasuk didalamnya ialah laut teritorial dan Zona Eknonomi Eksklusif /ZEE yang mencapai luas total lima juta km persegi.
Negara kita terletak pada posisi yang strategis pada jalur perdagangan dunia, dan memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Namun kondisi negara saat ini berbanding terbalik. Hal ini disebabkan oleh kondisi alutsista di bawah standar penangkalan sebagai akibat dari banyaknya alutsista yang berusia sangat tua dan jumlahnya yang sangat terbatas.
Banyak dari alutsista yang kita miliki mempunyai teknologi yang sangat ketinggalan zaman. Hal ini juga diperparah dengan kualitas profesionalisme dan kesejahteraan prajurit yang tergolong rendah serta ketergantungan pada produk negara lain. Berbagai macam kondisi yang sangat merugikan tersebut menyebabkan kekuatan pertahanan negara di bawah kekuatan pertahanan minimal yang dibutuhkan oleh negara ini.
Berangkat dari kesadaran akan adanya kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan kualitas alutsista TNI, maka tiba waktunya bagi Indonesia untuk merevitalisasi Alutsista TNI secara kuantitas maupun kualitas. Untuk mengatasi semua kekurangan tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat sebuah terobosan yang berfokus pada strategi pertahanan nasional, yang dinamakan Minimum Essential Force (MEF).
Kebijakan ini kemudian ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. MEF sendiri merupakan amanat dari pembangunan nasional di bidang pertahanan keamanan. Kemudian dalam implementasinya, MEF dibagi ke dalam tiga Rencana Strategis atau Renstra, yaitu Renstra 1 (2010-2014), Renstra 2 (2015-2019), dan yang terakhir adalah Renstra 3 (2020-2024).
Sasaran utama dari MEF ialah membangun elemen-elemen utama TNI agar dapat mencapai kekuatan pokok minimum untuk bisa mendukung postur pertahanan yang ideal dan disegani, baik yang berlaku pada level regional maupun internasional.
Penekanan diberikan khususnya pada kata minimum, yang menekankan pada fakta bahwa MEF tidak akan diarahkan pada konsep perlombaan senjata, ataupun sebagai strategi pembangunan kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan secara total, melainkan diarahkan sebagai satu bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar militer tertentu serta memiliki efek tangkal.
Tujuan utama implementasi dari MEF adalah agar Indonesia dapat memiliki sebuah kekuatan pertahanan yang bisa diandalkan dan tidak bergantung pada bantuan dari luar negeri. Oleh sebab itu, MEF harus difokuskan pada pembangunan secara intensif alutsista TNI dengan terus memperhatikan produk dan jenis alutsista yang dibutuhkan, anggaran belanja alutsista, dan jangka waktu pengadaan alutsista yang dibutuhkan.
Lalu mengapa harus MEF? Ancaman aktual dan potensial yang terjadi terhadap Indonesia yang dibahas tadi berpotensi membutuhkan solusi berbasis militer. Tanpa adanya campur tangan TNI, maka berbagai macam ancaman misalnya, konflik di perbatasan, agresifitas dari negara-negara lain yang bersinggungan dengan wilayah kedaulatan Indonesia, bahkan illegal fishing akan sangat sulit untuk bisa diselesaikan.
Langkah Penerapan MEF oleh Pemerintah
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini yaitu Pertama, mensinergikan tiga pilar industri pertahanan, yakni pilar Produsen, pilar Pengguna, serta pilar Pemerintah sendiri agar bisa saling bersinergi dan tidak saling tumpang tindih dengan pilar lainnya.
Kedua, tetap mendukung berjalannya proses profesionalisme TNI, dengan beberapa agenda pokok yakni meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI dan meningkatkan pos anggaran khusus dari APBN, sehingga minimal tetap dapat mempertahankan kenaikan 1,5%.
Terus memastikan adanya jaminan peningkatan tingkat kesejahteraan prajurit TNI dan keluarganya, dan juga merupakan pembangunan sumber daya manusia pada tingkat individu kombatan.
Ketiga, melakukan revisi pada grand design MEF, dan membangun industri pertahanan Indonesia dengan cara profesional agar dapat menghasilkan multiple effect, yakni economic effect serta technology effect.
Terakhir, selalu menempatkan kebijakan pertahanan nasional sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang diatur oleh Dewan Keamanan Nasional. Sesuai dengan yang telah disebutkan diatas yaitu Pemerintah Republik Indonesia agar dapat mendefinisikan hal apa saja yang bisa berpotensi besar menjadi ancaman keamanan nasional bagi Negara Republik Indonesia, sehingga nantinya bisa menjadi unsur deterrence terhadap hal-hal yang berpotensi menjadi ancaman negara Indonesia.
Masalah Pada MEF
Saat ini proses pengadaan alat penting sistem persenjataan pada Tentara Nasional Indonesia (TNI), masih dinilai belum transparan oleh publik.
Transparansi dan kerahasiaan adalah dua hal yang seolah-olah menjadi kontradiksi dalam hal pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan negara, selama ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengaudit proses pengadaaan alutsista. Hal ini disebabkan adanya larangan terhadap BPK untuk bisa mengaudit aset senjata yang nilainya mencapai sekitar Rp23 triliun dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebelumnya.
Pada dasarnya, proses audit sudah menjadi logika baku dalam pemeliharaan sistem ataupun organisasi. Dengan adanya proses audit, kita bisa mendapatkan gambaran tentang kerangka sistem, bekerjanya sistem, dan rekomendasi bagaimana supaya sistem dapat lebih efisien, andal, dan efektif.
Dalam hal konteks kerangka sistem, misalnya, kita harus bisa memeriksa dan menguji efektivitas kerangka hukum dan organisasi, kewenangan, proses untuk pengambilan keputusan, dan proses bisnis pengadaan alutsista. Termasuk juga di dalamnya dapat mengidentifikasi dan memetakan risiko korupsi yang mungkin terjadi, dalam proses bisnis pengadaan alutsista. Terhadap proses pembelian alutsista yang merupakan salah satu sistem strategis pertahanan sebuah negara, proses audit semestinya adalah hal yang sangat krusial.
Tentu kita semua belumlah lupa dengan 2 peristiwa yang belum lama ini menjadi sorotan publik. Peristiwa yang pertama adalah, penyelewengan dana pembelian pesawat tempur F-16 dan helikopter Apache. Pada peristiwa ini, kerugian negara ditaksir mencapai sekitar USD 12,4 juta.
Peristiwa yang kedua adalah, proses pengadaan helikopter Agusta Westland (AW101) senilai USD55 juta (Rp742 miliar) pada awal tahun 2017. Kasus tersebut diduga berpotensi merugikan negara sekitar Rp220 miliar. Dua kejadian tersebut menyadarkan kita semua mengenai sangat pentingnya proses audit dalam proses pembelian dan pemeliharaan sistem atau organisasi pertahanan kita.
Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dalam hal menegakkan hukum di kalangan TNI adalah melakukan revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Meski sebetulnya tanpa menunggu adanya revisi UU tersebut, KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista atas dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen sebagai implementasi dari penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, usulan revisi dari pemerintah diharapkan akan dapat mempermudah jalannya revisi UU tersebut. Dibandingkan jika harus menunggu inisiatif dari DPR yang saat ini terdiri dari 10 fraksi.
Peran Mahfud MD Dalam Pemerintahan yang Akan Datang
Jika bisa terpilih menjadi Wapres pada masa pemerintahan yang akan datang, maka diharapkan Mahfud MD dengan pengalamannya sebagai Menteri Pertahanan dan sekaligus sebagai pakar hukum tata negara, dapat melakukan beberapa perombakan dalam sistem pertahanan negara kita, diantaranya yang pertama adalah mendefinisikan secara detail, potensi ancaman terhadap negara Indonesia yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Yang kedua ialah, meningkatkan kualitas industri pertahanan dalam negeri. Sudah menjadi rahasia umum, jika institusi TNI dan Polri lebih suka membeli alutsista yang diproduksi di luar negeri. Hal ini perlu dirubah dengan serangkaian kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan untuk membeli alutsista hasil produksi dalam negeri.
Alasan yang ketiga adalah, sebagai pakar hukum tata negara, beliau diharapkan dapat mulai menginisiasikan revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal ini diharapkan dapat menjadi permulaan dari pengadaan sistem pertahanan yang lebih transparan dan dapat dipertanggung jawabkan.
Ketiga hal diatas dapat dikatakan menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintahan yang akan datang. Dimana tantangan masalah di dalam negeri maupun yang datang dari luar, akan semakin bervariasi dan meningkat kualitasnya. Untuk bisa mengatasi tantangan tersebut, maka dibutuhkan pemerintahan yang berisi individu yang cakap dalam hal hukum tata negara dan pertahanan keamanan nasional. Bapak Mahfud MD, tentu dapat mengatasi tantangan tersebut, mengingat dari kualifikasi dan pengalaman beliau.
Tentu saja, seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Beliau memang kurang didukung oleh partai-partai politik. Hanya saja kelemahan ini diharapkan dapat ditutupi dengan kompetensi di bidang hukum tata negara, pengalaman sebagai Menteri Pertahanan, dan latar belakang beliau yang cukup populer di kalangan NU. Akhir kata, saya berharap Bapak Mahfud MD dapat terpilih menjadi Cawapres Jokowi untuk Pemilu 2019.
#IndonesiaMaju
#CawapresJokowi
loading...
0 Response to "Mahfud MD, Dari Menhan Menuju ke Cawapres Jokowi"
Posting Komentar